HALAMAN

Minggu, 21 Juni 2009

Pendidikan Berbasis HAM
Asep Bunyamin*
Pada dasawarsa terakhir, terjadi kecenderungan baru dunia pendidikan yaitu tumbuhnya (kembali) kesadaran tentang pentingnya penegakkan hak-hak asasi manusia (HAM). Kecenderungan ini terjadi secara global yang dapat digambarkan sebagai titik balik dalam peradaban manusia. Baru-baru ini dewan HAM PBB atau Human Rights Council melakukan sidang perdana di Geneva. Salah satu agenda yang di bahas dalam sidang tersebut adalah pentingnya membangun prospek yang lebih baik penegakan HAM di dunia.
Dimana-mana orang berbicara seputar isu-isu yang berkaitan dengan HAM. Dan dalam banyak kesempatan tema-tema tentang HAM atau yang terkait dengan HAM banyak dibahas. Bahkan untuk bidang yang sebelumnya tak pernah tersentuh dengan HAM sekalipun, kedudukan dan peran HAM makin banyak diperbincangkan.
Di Indonesia, isu-isu seputar HAM –bagi sebagian orang– mungkin masih dianggap tabu untuk dibicarakan. Inti persoalan dari ini semua adalah tema-tema sentral seputar HAM masih belum serius dipelajari dengan seksama terutama dalam pendidikan. Dalam beberapa tahun terakhir, memang ada arus pemikiran dan kebutuhan baru dalam dunia pendidikan untuk memberikan perhatian yang proporsional terhadap dimensi-dimensi apektif dari tujuan pendidikan, bersama-sama dengan aspek pengetahuan dan keterampilan. Para ahli pendidikan mulai secara intensif mengembangkan teori pendidikan yang memberikan perhatian akan pentingnya pendidikan berbasis HAM di sebarluaskan.
Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pendidikan (UNESCO) wilayah Asia Pasifik telah melakukan penelitian di negara-negara Asia termasuk Indonesia, bahwa sistem pendidikan di Indonesia kurang mengakomodasi HAM peserta didik. Hasil penelitian tersebut tentunya bisa dijadikan referensi bagi para ahli pendidikan di Indonesia untuk terus mengkampanyekan akan pentingnya pendidikan HAM di sekolah-sekolah sebagai bagian dari sistem pendidikan Indonesia.
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dengan rekomendasi dari UNESCO mencanangkan sistem pendidikan berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) untuk semua jenjang pendidikan. Masalah hak asasi manusia akan di implementasikan dalam kurikulum pendidikan. Untuk pendidikan dasar dan menengah, masalah HAM akan di integrasikan dalam mata pelajaran agama.
Jika dilihat dari kaca mata psikologi, pentingnya pendidikan berbasis HAM pada dasarnya merupakan upaya mengokohkan tujuan pendidikan nasional terhadap keyakinan peserta didik agar berbuat kebenaran dan berlaku adil kepada sesama manusia tanpa memandang agama dan dari golongan mana ia berasal. Penyadaran ini memerlukan usaha sungguh-sungguh dan terintegrasi. Penyadaran yang bersifat monolitik dengan memberikan tanggung jawab pendidikan berbasis HAM kepada guru mata pelajaran agama dan guru mata pelajaran kewarganegaraan merupakan langkah maju dalam mengimplementasikan pendidikan berbasis HAM. Dengan cara itu, tanggung jawab membentuk kepribadian moral dan akhlak peserta didik merupakan tanggung jawab guru dan tenaga kependidikan.
Keperluan penjelasan tentang arti, fungsi, peran, posisi dan isi pendidikan berbasis HAM relevan dengan perkembangan nasional dewasa ini yang sedang berusaha membangun kepercayaan publik tentang penegakkan HAM di Indonesia. Kebijakan otonomi pendidikan pada dasarnya merupakan pencerahan dan pemberdayaan pendidikan agar lebih bermakna. Kini lembaga pendidikan dituntut untuk mampu mengembangkan kepribadian peserta didik secara optimal, selain berusaha untuk meningkatkan kemampuan akademis. Karena itu, lahirnya UUSPN No. 20 Tahun 2003, tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Manajemen Berbasis Sekolah, serta berbagai kebijakan lain merupakan langkah demi mendukung perbaikan pendidikan di Indonesia.
Pentingnya pendidikan berbasis HAM ini tentu mesti ada dukungan dari semua pihak terutama para pelaku pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Guru, yang merupakan penopang dunia pendidikan paling depan, harus melibatkan diri secara aktif peranannya dalam sosialisasi di berlakukannya kurikulum berbasis HAM ini. Oleh sebab itu peranan guru, tidak hanya menyampaikan materi pelajaran saja, akan tetapi juga mengajarkan betapa pentingnya penegakkan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kehidupan nyata di masyarakat.
Sebagai langkah awal demi suksesnya keberlangsungan dan peningkatan kualitas pengetahuan guru dalam bidang HAM, maka sosialisasi terhadap sistem pendidikan berbasis HAM ini perlu disosialisasikan ke seluruh perangkat-perangkat pendidikan sehingga tujuan agar tegaknya nilai-nilai HAM bisa benar-benar terwujud. Pendidikan, diyakini sebagai instrumen yang sangat strategis dalam penyebaran nilai-nilai HAM ini. Karenanya, dunia pendidikan kita diharapkan dapat membantu proses pembelajaran HAM di tingkat pelajar yang nantinya akan memperkuat pemahaman para siswa didik kita untuk lebih memahami pentingnya nilai-nilai HAM.
Ditengah banyaknya kejadian pelanggaran HAM, para siswa akan lebih sadar jika kenyataan tersebut bisa dipelajari secara langsung. HAM adalah sesuatu yang universal dan tak perlu diperdebatkan lagi. Tentu saja keinginan kita untuk membangun pendidikan berbasis HAM harus pula di barengi dengan infra struktur yang bisa juga di jadikan acuan bahwa HAM merupakan hak dasar bagi setiap manusia. Yang tercakup didalam HAM adalah hak hidup, hak beragama dan hak-hak dasar lainnya yang orang lain –siapapun dia– tidak boleh mengganggu apalagi melanggar dan memaksakan.
Indonesia adalah negara multikultural yang menuntut adanya kesepahaman dari seluruh elemen bangsa. Sehingga, multikultural yang secara alamiah ada dan hadir di bumi pertiwi ini bisa menjadi pemersatu dan sebagai lahan untuk saling menghargai. Krisis HAM di Indonesia perlu penyelesaian yang sistemik. Melalui pendidikan berbasis HAM, akan lebih memudahkan dalam menyiapkan generasi yang faham tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pemahaman yang mendalam dari siswa tentang HAM diharapkan akan memperkuat posisi mereka (siswa) untuk memperjuangkan hak asasinya dalam kehidupan bermasyarakat.
Hak-hak asasi manusia Indonesia sekarang ini sedang menjalani transisi separuh hati dari rezim otoritarian. Transisi separuh hati ini, menyediakan ruang yang luas bagi kekuatan-kekuatan keamanan untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan kembali kekuasaan mereka. Akibatnya sangat sulit bagi sistem peradilan untuk menyelenggarakan pengadilan yang adil demi menegakkan prinsip-prinsip HAM. Karena itu sangat penting bagi para korban pelanggaran HAM meningkatkan kapasitas mereka untuk menuntut keadilan dan akuntabilitas melalui pengadilan serta melakukan advokasi untuk mendorong reformasi hukum dan kelembagaan yang bertujuan melindungi hak-hak mereka sebagai warga negara dan manusia.
Pendidikan diyakini sebagai kekuatan yang bisa membangun peradaban bangsa. munculnya gagasan mengenai pendidikan berbasis HAM harus di sambut dengan gembira. Sebab, pendidikan merupakan sarana paling efektif untuk menegakkan prinsip-prinsip HAM. Kenyataan bahwa pendidikan di Indonesia kurang mengakomodasi HAM peserta didik merupakan kritik untuk terus meningkatkan perannya dalam melindungi HAM. Pendidikan kita pada kenyataannya masih menampilkan sistem yang tidak manusiawi, dengan kecenderungan dehumanisasi. Kebijakan dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang di sinyalir melanggar HAM seharusnya tidak perlu terjadi. Pendidikan seharusnya memperlakukan siswa didik sebagai manusia. Sehingga tujuan utama pendidikan untuk menciptakan manusia yang bukan hanya unggul dalam bidang kognitif tetapi juga harus bisa menjadikan siswa didik unggul secara afektif maupun psikomotorik.
Tentu saja, dalam implementasinya pendidikan berbasis HAM ini harus melandaskan diri pada penguatan nilai-nilai HAM secara universal. Potensi yang dimiliki masyarakat Indonesia dengan ragam budaya yang dimiliki bisa dijadikan sebagai fondasi untuk penguatan wilayah tersebut.
Di tengah semakin maraknya pelanggaran HAM, pendidikan berbasis HAM di pandang perlu untuk di implementasikan dalam seluruh jenjang pendidikan. Dengan ini, diharapkan siswa didik –dengan segenap pengetahuan yang dimilikinya– menjadi lebih tahu akan tanggung jawabnya serta perannya sebagai manusia untuk senantiasa menjadi pelopor bagi penegakkan HAM.
* Penulis, aktif di Damar Institut Bandung

Kamis, 18 Juni 2009

Membangun Gerakan Extra Parlementer


Harapan sebagai rakyat diamanatkan kepada wakil rakyat, dalam hal ini parlemen menjadi lembaga yang seharusnya mewakili kepentingan-kepentingan rakyat yang diwakilinya. namun dalam iklim yang sedang berkembang saat ini, sulit kiranya kita untuk mengatakan bahwa cita-cita kita sebagai bangsa, sebagai masyarakat dapat di wujudkan secara nyata, indikasi hal ini dapat dilihat dari kinerja parlemen kita, yang juga wakil kita, mereka mempertontokan sebuah dagelan politik yang entah kemana arah pastinya bangsa ini dibawa. money politik pilleg, dana-dana siluman, study banding yang tidak jelas, permainan perempuan dan masih banyak lagi catatan buruk yang ditorehkan oleh wakil rakyat kita. Sementara nun jauh di sana, anak kecil busung lapar, masyarakat kehilangan tempat tinggal akibat terendam lumpur, sang ibu mempekerjakan anaknya di jalanan, petani kekurangan air dan sulitnya mendapatkan pupuk, nelayan menukar solar dengan minyak tanah. Lalu apa peran kita? sebagai masyarakat yang masih peduli terhadap nasib bangsa, hendaknya geakan-gerakan ekstra perlemanter lah yang harus kita ambil, sebagai penyeimbang kebijakan pemerintah, harapannya kemudian suara rakyat menjadi raja yang harus pertama kali didengar dan dilayani demi kemakmuran bangsa, karena murka rakyat adalah murka tuhan...(lang)

Bangsa yang Beradab


Bangsa yang beradab adalah bangsa yang selalu mempertahankan ciri, tradisi dan karakter asli bangsanya, kita tilik, kenapa Jepang bisa maju, kenapa Cina bisa kuat, kenapa Eropa bisa bangkit dari masa kegelapannya (darkness) ? jawaban dari semua itu adalah negara-negara tersebut mempertahankan dan melestarikan budaya dan tradisi bangsanya. lalu bagaimana dengan kita Indonesia yang kita sebut dengan Negara Kesatuan, apakah masih layak kita sebut negara Kesatuan atau sudah berubah nama menjadi Pasar Raya Indonesia --meminjam istilah Agus Sunyoto--, wajar kiranya hal ini terlontar dari kita karena bangsa kita sudah sangat rentan untuk dimasuki budaya-budaya import yang jelas-jelas akan menggerogoti akar kekuatan bangsa kita. namun, harapan itu masih sangat terbuka, jika kita sungguh-sungguh mau maju, kenali ciri bangsa kita jangan tinggalkan budaya nasional kita, pertahankan tradisi nenek moyang kita dan akulturasikan dengan kenyataan zaman kita saat ini. "Almuhaafdhatu 'alaa qadiimi as-shaaleh wa al-'akhdu bi jadiidil ashlah". Wallahu 'alam. (Lang)

POLITIK CARUT MARUT


Ada satu kegelisahan dibenak saya ketika melihat hajatan tahunan bangsa ini yakni hajat demokrasi pemilihan Presiden dan wakilnya. Betapa tidak, hajatan yang mestinya memberikan harapan perubahan untuk bangsa ini malah dinodai dengan beberapa kasus yang sangat menilisik hati. Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menjadi pelaksana undang-undang dalam perhelatan akbar hajat ini seolah tidak bisa menunjukan kredibilitasnya sebagai profesional institution , diawali dari kinerja buruk soal pendataan DPT, ditambah lagi distribusi logistik yang tidak merata serta yang terakhir soal kacaunya keputusan KPU mengenai penetapan anggota legeslatif yang disinyalir tidak konstitusional. kasus terakhir bermula dari kesalahan KPU mengenai penetapan anggota legestaif yang akan duduk di parlemen, sengketa itu akhirnya diputuskan di Mahkamah Konstitusi dan beberapa anggota legeslatif yang dulunya ditetapkan KPU menjadi anggita yang sah, oleh MK dianggap unconstitutional , akhirnya beberapa nama baru akan mengisi kancah wakil kita di senayan nanti.